Hamka, ulama besar pimpinan pusat Muhammadiyah, pernah bergurau ketika melukiskan keadaan dirinya sebelum masuk Tarekat Qâdiriyyah-Naqsyabandiyyah (TQN) dan menjadi murid (ikhwan) Abah Anom. Ulama pejuang ini berujar bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampaâ€. Katanya, “Saya tahu ilmunya (tasawuf), sejarahnya sudah di luar kepala, saya paham para tokoh dan pemikirannya, yang saya tuliskan dalam buku-buku saya. Namun, saya tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk.â€
Itulah penggalan kisah Hamka dengan K.H. Ahmad Shohibul Wafa Tadjul Arifin atau lebih dikenal Abah Anom. Abah Anom (1915-2011) adalah sosok mursyid (guru-ruhani) yang fenomenal. Bagai bintang yang menebar cahaya zikir dan berkah. Ratusan dan ribuan tamu, nyaris tiap hari, selama puluhan tahun, ia selalu ingin gembirakan dengan jamuan makan. Dan faktanya ribuan tamu itu tak pernah kehabisan jamuan makan. Kolam-kolamnya di sekitar pesantren, ia bebaskan untuk masyarakat sekitar. Pondok-pondok inabah ia dirikan untuk menyelamatkan korban narkoba. Hidupnya ia wakafkan untuk kepentingan masyarakat, juga tak lupa untuk memberi perhatian kepada keluarga.
Disebabkan Akhlak dan khidmatnya itulah, para ikhwan bahkan beberapa akademisi meyakini Abah sebagai sosok wali (kekasih) Allah.
Namun, mengapa sang wali punya kedekatan khusus dengan Soeharto? Mengapa ia tak menampik menjadi tokoh pendukung Golkar dan anggota MPR? Mengapa ia bahkan dapat tetap ramah kepada tamu seorang pejabat yang dikenal berlumuran darah?
Dr. Asep Salahudin dalam buku ini mengisahkan sosok Abah, perjalanan hidup dan kiprahnya, ajaran dan ritual TQN serta wejangannya, juga kedekatannya dengan sejumlah aktor bangsa ini. Juga tak lupa manqabah (kisah karomah) Abah yang beredar di kalangan ikhwan serta sikap ilmiah penulis atas kisah ini.